BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang berarti negara yang
mengandalkan sektor pertanian baik sebagai sumber mata pencaharian maupun
sebagai penopang pembangunan. Sektor pertanian meliputi subsektor tanaman bahan
makanan, subsektor holtikultura, subsektor perikanan, subsektor peternakan, dan
subsektor kehutanan. Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat dominan
dalam pendapatan masyarakat di Indonesia karena mayoritas penduduk Indonesia
bekerja sebagai petani. Namun produktivitas pertanian masih jauh dari harapan.
Salah satu faktor penyebab kurangnya produktivitas pertanian adalah sumber daya
manusia yang masih rendah dalam mengolah lahan pertanian dan hasilnya.
Mayoritas petani di Indonesia masih menggunakan sistem manual dalam pengolahan
lahan pertanian (Dimas, 2011).
Istilah
umum pertanian berarti kegiatan menanami tanah dengan tanaman yang nantinya
menghasilkan sesuatu yang dapat dipanen, dan kegiatan pertanian merupakan
campur tangan manusia terhadap tetumbuhan asli dan daur hidupnya. Pada pertanian
modern, campur tangan manusia ini semakin jauh dalam bentuk masukan bahan kimia
pertanian, termasuk pupuk kimia, pestisida dan bahan pembenah tanah lainnya.
Bahan-bahan tersebut mempunyai peranan yang cukup besar dalam peningkatan
produksi tanaman (Sutanto, 2002).
Sektor pertanian berperan penting
terhadap perekonomian nasional, sumbangannya terhadap pendapatan devisa negara
di luar minyak dan gas bumi serta dalam perekonomian rakyat tidak bisa di
abaikan. Kondisi pertanian yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan
memiliki pasar yang luas akan mendapat prioritas utama dalam pengembangannya.
Dengan demikian, penemuan terhadap kebutuhan pangan, bahan baku industri,
peningkatan lapangan kerja, peningkatan kesempatan berusaha dan peningkatan
ekspor komoditi pertanian diharapkan dapat terjamin dan berkesinambungan. Meningkatnya taraf hidup dan terbukanya kesempatan
untuk menciptakan peluang kerja ditandai oleh banyaknya investor ataupun masyarakat
dan pemerintah dalam melakukan pembangunan
Pembangunan pertanian yang berhasil dapat diartikan
jika terjadi pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi dan sekaligus terjadi
perubahan yang lebih baik. Sektor pertanian di Indonesia dianggap penting, hal
ini terlihat dari peranan sektor pertanian terhadap penyediaan lapangan kerja,
penyediaan pangan, penyumbang devisa Negara melalui ekspor dan sebagainya. Aspek penting dalam pengembangan usahatani adalah
bagaimana cara meningkatkan secara kontinyu produk usaha tani yang senantiasa
menguntungkan. Peningkatan produk usahatani dapat dilakukan dengan cara
intensifikasi, ekstensifikasi, diversivikasi dan rehabilitasi sehingga
kesejahteraan petani dapat tercapai. Petani berkepentingan meningkatkan
penghasilan pertaniannya dan penghasilan keluarga serta berkepentingan juga
menekan biaya produksi serendah-rendahnya dan menaikkan penerimaan dari hasil
penjualan sebesar-besarnya. Dengan demikian agar pengembangan usahatani dapat berjalan secara efektif harus
berkaitan dengan tujuan sosial, ekonomi
ataupun sumberdaya lainnya
(Soekartawi
dalam Aufa, 2011).
Pada subsistem pemasaran
produk pertanian berupa sub
sektor tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan dan peternakan terus mengalami perkembangan pesat baik di pasar
domestik maupun pasar internasional,
serta memiliki peran yang
sangat strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Di satu sisi pemasaran hasil pertanian masih
mengalami banyak permasalahan dan kendala seperti mutu dan kualitas produk yang masih rendah, harga yang berfluktuatif
sehingga menyulitkan dalam manajemen perencanaan, infrastruktur pemasaran yang
masih kurang memadai, inefisiensi produk, integrasi pasar yang rendah, jaringan
dan informasi pasar masih lemah serta sumber daya manusia pertanian yang belum
dimaksimalkan. Dilain pihak pemasaran pertanian dalam negeri mengalami tantangan
dengan tebukanya pasar internasional atau globalisasi perdagangan. Kondisi yang
demikian akan menyebabkan arus perdagangan produk pertanian semakin bebas. Perlu
adanya program pemerintah adalah
untuk melindungi dan meningkatkan pendapatan petani
salah satunya masalah kebijakan harga produk hasil pertanian.
1.2 Rumusan Masalah
1. Faktor
apa yang menyebabkan adanya kebijakan harga jual produk pertanian?
2. Bagaimana
sistem yang digunakan terkait kebijakan harga jual produk prtanian?
3. Bagaimana
pengaruh kebijakan harga jual peroduk pertanian terhadap pembangunan pertanian
di era globalisasi?
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui faktor yang menyebabkan adanya kebijakan harga jual produk
pertanian.
2. Untuk
mengetahui sistem yang digunakan terkait kebijakan harga jual produk prtanian.
3. Untuk
mengetahui pengaruh kebijakan harga jual peroduk pertanian terhadap pembangunan
pertanian di era globalisasi
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Pembangunan Pertanian
Pertanian
Indonesia dulu hanya diarahkan untuk makanan atau pangan. Padahal pertanian
bisa menyadiakan bahan mentah untuk industri manufaktur, untuk industri
kerajinan ukir-ukiran, kayu anyaman dan lain-lainnya, di samping itu untuk
bahan bangunan. Selain itu, pertanian pun bisa diarahkan untuk meningkatkan
devisa sekaligus memproduksi barang substitusi impor. Kondisi krisis ekonomi
yang dialami Indonesia telah membangkitkan kesadaran sebagian publik dan
pembuat kebijakan tentang betapa pentingnya pembangunan bidang pertanian.
Bidang pertanian telah menunjukkan ketahanan yang luar biasa dalam pembangunan
nasional dan bahkan mampu menjamin keberlangsungan kehidupan dan pendapatan
bagi kebanyakan masyarakat pada kondisi krisis dewasa ini. Pertanian mempunyai
potensi tidak saja untuk menjadi tumpuan dalam penyerapan tenaga kerja dan
membuka berbagai lapangan usaha, tetapi juga dapat diandaikan sebagai penghasil
dan sekaligus penghemat devisa. Pentingnya pembangunan bidang pertanian telah
dimunculkan, namun langkah-langkah kebijakan strategis dan praktisnya masih
belum tampak dengan jelas (Hariyadi et al,
2000).
Pertumbuhan ekonomi
Indonesia sebagai buah keberhasilan pembangunan telah menimbulkan dampak
negatif terhadap ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan. Sebagai
gambaran, sektor pertanian yang bertumpu pada potensi sumber daya alam banyak
mengalami pengurasan sehingga ketersediaan dan kualitas sumber daya alam makin
menurun. Akibatnya, setelah hampir empat dasawarsa pembangunan berlangsung,
kondisi pertanian nasional masih dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain:
1) menurunnya kesuburan dan produktivitas lahan, 2) berkurangnya daya dukung
lingkungan, 3) meningkatnya konversi lahan pertanian produktif, 4) meluasnya
lahan kritis, 5) meningkatnya pencemaran dan kerusakan lingkungan, 6) menurunnya
nilai tukar, penghasilan dan kesejahteraan petani, 7) meningkatnya jumlah
penduduk miskin dan pengangguran di pedesaan, dan 8) terjadinya kesenjangan
sosial di masyarakat. Masalah tersebut muncul karena pembangunan selama ini
cenderung bias pada pemacuan pertumbuhan produksi, serta peran pemerintah dan
swasta sangat dominan. Masyarakat petani hanya berperan sebagai objek, bukan
sebagai subjek pembangunan. Sektor pertanian juga tidak lagi ditempatkan
sebagai fondasi ekonomi nasional, tetapi sebagai penyangga untuk menyukseskan
industrialisasi sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi (Saptana dan Ashari,
2007).
Menurut Feryanto
(2010), logika pembangunan pertanian selama ini di Indonesia merupakan bagian
integral dari pembangunan ekonomi nasional, di mana pertumbuhan ekonomi menjadi
orientasi utama. Pembangunan pertanian masa depan merupakan proses
berkelanjutan, peningkatan, pendalaman, perluasan dan pembaharuan pembangunan
pertanian yang telah dilaksanakan sebelumnya. Sektor agribisnis mempunyai
peranan penting didalam pembangunan. Ada lima peran penting dari sektor
pertanian dalam kontribusi pembangunan ekonomi antara lain meningkatkan
produksi pangan untuk konsumsi domestik, penyedia tenaga kerja terbesar,
memperbesar pasar untuk industri, meningkatkan supply uang tabungan
dan meningkatkan devisa. Sampai saat ini, peranan sektor pertanian di Indonesia
begitu besar dalam mendukung pemenuhan pangan dan memberikan lapangan kerja
bagi rumah tangga petani. Tahun 2003, sektor pertanian mampu memperkerjakan
sebanyak 42 juta orang atau 46,26 persen dari penduduk yang bekerja secara
keseluruhan.
Pembangunan pertanian terjadi dalam kerangka
transformasi pembangunan nasional yang berporoskan pada transformasi pertanian.
Transformasi pembangunan secara keseluruhan meliputi lima bentuk transformasi,
yakni transformasi demografi, transformasi spasial, transformasi ekonomi,
transformasi tatakelola pembangunan dan transformasi kelembagaan. Transformasi
demografi dicirikan dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, dengan laju
pertumbuhan yang secara bertahap mengalami pelambatan. Transformasi spasial
merujuk pada perubahan dominasi sektor-sektor ekonomi dan kondisi fisik
lingkungan antarwilayah yang menghasilkan berbagai bentuk disparitas
pembangunan antar wilayah. Transformasi ekonomi Indonesia merupakan proses
perubahan komposisi sektor-sektor di dalam perekonomian nasional, umumnya dari
berbasis pertanian berubah menjadi berbasis industri dan jasa. Transformasi
tata kelola pembangunan diarahkan untuk memberikan keluasan kewenangan bagi
pengambilan keputusan untuk menciptakan pembangunan pertanian yang berbasis
kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Transformasi kelembagaan
dilakukan pada tiga bentuk. Pertama transformasi kelembagaan level mikro para
petani dengan organisasinya maupun pada kelembagaan pemerintahan desa. Kedua,
transformasi kelembagaan dalam sistem pemerintahan yang mampu menciptakan
keterpaduan lintas sektor guna mewujudkan pertanian-bioindustri berkelanjutan.
Ketiga, transformasi kelembagaan dalam sistem nilai yang secara operasional
diwujudkan dengan transformasi sistem indikator pembangunan yang lebih
berorientasi pada tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan (Kementrian
pertanian, 2013).
Pembangunan pertanian tidak terlepas
dari pengembangan kawasan pedesaan yang menempatkan pertanian sebagai penggerak
utama perekonomian. Lahan, potensi tenaga kerja, dan basis ekonomi lokal
pedesaan menjadi faktor utama pengembangan pertanian. Saat ini, disadari
bahwa pembangunan pertanian tidak saja bertumpu di desa tetapi juga diperlukan
integrasi dengan kawasan dan dukungan sarana serta prasarana yang tidak saja
berada di pedesaan, tetapi juga wilayah perkotaan. Struktur perekonomian
wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan suatu wilayah dengan wilayah
lainnya, perbedaan tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi dan potensi
suatu wilayah dari segi fisik lingkungan, sosial ekonomi dan kelembagaan.
Faktor-faktor yang penting dan harus ada dalam proses pembangunan pertanian
adalah sebagai berikut: (a) agribisnis merupakan suatu sistem, sehingga semua
kegiatan yang terdapat dalam sistem tersebut harus saling terkait dan tidak
berdiri sendiri, (b) agribisnis merupakan alternatif bagi pengembangan strategi
pembangunan ekonomi, dan (c) agribisnis berorientasi pasar dan perolehan nilai
tambah dari suatu komoditas (Feryanto, 2010).
2.2
Teori Ketetapan Harga Produk Pertanian
Harga adalah segala bentuk biaya
moneter yang dikorbankan oleh konsumen untuk memperoleh, memiliki, memanfaatkan
sejumlah kombinasi dari barang beserta pelayanan dari suatu produk. Penetapan
harga jual berpotensi menjadi suatu masalah karena keputusan penetapan harga
jual cukup komplekscdan harus memperhatikan berbagai aspek yang
mempengaruhinya. Ketidakstabilan kurs Dollar terhadap
Rupiah telah merugikan banyak pelaku usaha di sektor riil. strategi
penetapan harga saat kondisi nilai kurs fluktuatif sehingga masih dapat
mempertahankan keuntungan atau meminimalisasi kerugian (Aditya, 2013).
Posisi harga produk pertanian
sebagai produk utama sangat menentukan besarnya jumlah permintaan produk tersebut.
Apabila karakter produk pertanian memiliki nilai elastisitas permintaan yang rendah, akan menyebabkan
gerakan harga akan senantiasa dalam arah yang menaik. Sebagai produk pertanian memiliki
tingkat elastisitas permintaan yang tidak elastis karena jika harga produk
naik, para pembeli enggan untuk mencari barang pengganti (karena merupakan
produk utama) dan oleh karenanya harus tetap membeli produk tersebut sehingga
permintaannya tidak akan banyak berubah. Karakter elastisitas permintaan produk
pertanian tersebut cendrung mendorong para pedagang untuk menaikkan tingkat
haraga produk pertanian sehingga terjadilah gerak harga produk yang semakin
menaik. Hal ini menyebabkan terjadinya Inflasi bahan makanan yang dapat
mempengaruhi stabilitas ekonomi makro (Widiarsih, 2012).
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1
Faktor
Penyebab Adanya Kebijakan Harga Jual Produk Pertanian
Penurunan
sektor pertanian dalam perekonomian disebabkan oleh permintaan terhadap hasil
pertanian yang lambat perkembangannya dan kemajuan teknologi di sektor
pertanian. Tingkat permintaan barang industri jauh lebih cepat dibanding
permintaan terhadap pertanian sehingga kenaikan harga barang industri juga jauh
lebih cepat dibanding dengan kenaikan harga barang pertanian. Di negara maju
kemajuan teknologi berimplikasi terhadap sektor pertanian yaitu mendorong
perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri dan teknologi
telah menimbulkan masalah kelebihan produksi pertanian. Keadaan demikian menyebabkan
harga barang pertanian cenderung untuk tetap berada pada tingkat yang sangat
rendah.
Pada kondisi
jangka pendek harga hasil pertanian cenderung berfluktuatif, ketidakstabilan
harga tersebut bisa disebabkan oleh permintaan dan penawaran terhadap barang
pertanian yang sifatnya tidak elastis. Beberapa faktor yang menyebabkan
penawaran terhadap barang pertanian bersifat tidak elastis adalah: 1) produk
pertanian ada umumnya bersifat musiman, 2) kapasitas memproduksi sektor
pertanian cenderung untuk mencapai tingkat yang tinggi dan tidak terpengaruh
oleh perubahan permintaan, 3) beberapa jenis tanaman memerlukan waktu
bertahun-tahun sebelum hasilnya dapat diperoleh.
Pada dasarnya pemerintah terlibat dalam menentukan
harga produk hasil pertanian dengan ingin meningkatkan efisiensi alokasi sumber
daya maupun keadilan dalam distribusi pendapatan dalam menentukan berapa banyak
barang yang dibeli oleh individu dan mereka hanya akan mempertimbangkan manfaat
yang diperolah secara pribadi, sehingga kesempatan barang tersebut yang
tersedia dipasar akan sangat kecil. Pemerintah akan terlibat dalam penyediaan
barang untuk memproteksi masyarakat dari penipuan, kepastian tersedianya produk,
maupun keseragaman kualitas dari produk. Semua keterlibatan pemerintah tersebut
ditunjukan untuk mencapai penentuan harga yang efisien.
3.2
Sistem
Kebijakan Harga Jual Produk Prtanian
Komoditas
pertanian strategis yang selalu menjadi isu utama pembangunan pertanian.
Komoditi pertanian sangat berkaitan erat dengan kelangsungan hidup orang banyak,
sehingga berbagai permasalahan yang terkait dengan komoditi ini rawan sekali
untuk dipolitisir. Persoalan klasik pada komoditi pertanian, yaitu
mempertahankan harga yang baik di tingkat produsen namun pada saat yang sama
juga tidak terlalu memberatkan konsumen. Persoalan bertambah rumit karena
komoditi pertanian umumnya ditanam secara serentak pada musim tertentu,
sehingga berlebihnya pasokan pada saat panen dan langkanya pasokan disaat
paceklik menjadi suatu fenomena rutin setiap tahunnya. Instrumen kebijakan yang
pada intinya dimaksudkan untuk mencegah terjadinya gejolak harga. Kebijakan
tersebut antara lain dengan menetapkan semacam harga dasar yaitu Harga Pembelian
Pemerintah (HPP) untuk komoditas hasil pertanian dan mengenakan tarif, kuota,
pengaturan waktu impor serta operasi pasar (OP) untuk komoditas pertanian
tertentu.
Kondisi
spesifik wilayah sangat mewarnai efektivitas dari Harga Pembelian Pemerintah,
sehingga penentuan kebijakan yang seragam secara nasional sangat tidak
dianjurkan. Saatnya pemerintah memikirkan kemungkinan mendelegasikan semua
persoalan berkaitan dengan kecukupan pangan, utamanya beras pada pemerintah
daerah, dalam hal ini kabupaten. Pemerintah pusat hanya perlu membuat
rambu-rambu dan pedoman dalam menetapkan Harga Pembelian Pemerintah. Sementara
itu wilayah seperti kabupaten berdasarkan kondisi spesifik yang ada bisa
membuat kebijakan yang sesuai didaerahnya. Agar menjamin stabilisasi harga di
tingkat petani, berbagai inisiatif lokal yang ada seperti kelompok kerja atau
kemitraan akan lebih efektif daripada lembaga bentukan dari pusat. Dalam jangka
panjang, sejalan dengan semangat otonomi daerah, maka kemampuan pemerintah
daerah dalam menjamin stabilisasi harga produk pertanian di wilayahnya, serta
kecukupan pangan bagi masyaraktanya merupakan salah satu kriteria utama yang
dijadikan acuan dalam menilai kinerja pemerintah daerah.
Menjaga
kestabilan harga dan pendapatan petani, perlu campur tangan pemerintah dalam
penetuan produksi dan harga, adapun cara yang dapat dilakukan adalah: 1)
Membatasi atau menetukan kuota tingkat produksi yang dapat dilakukan oleh
produsen (pengaturan pola tanam), 2) Melakukan pembelian-pembelian produk yang
akan distabilkan harganya di pasar bebas, 3) memeberikan pengarahan atau
bantuan kepada petani apabila harga pasar lebih rendah dari pada harga yang
dinggap sesuai oleh pemerintah.
3.3
Pengaruh
Kebijakan Harga Jual Produk Pertanian terhadap Pembangunan Pertanian Di Era
Globalisasi
Fluktuasi
nilai tukar petani akan menunjukkan fluktuasi kemampuan pembayaran ataupun
tingkat pendapatan riil petani. Kegiatan pertanian tentu saja tidak lepas dari
kegiatan di luar sektor pertanian, dengan demikian nilai tukar petani juga
dipengaruhi oleh peran dan perilaku di luar sektor pertanian. Perbaikan dan
peningkatan nilai tukar petani yang mengindikasikan peningkatan kesejahteraan petani akan terkait
dengan kegairahan petani untuk berproduksi. Hal ini akan berdampak ganda tidak
saja dalam peningkatan partisipasi petani dan produksi pertanian dalam
menggairahkan perekonomian pedesaan, penciptaan lapangan pekerjaan di pedesaan
dan menumbuhkan permintaan produk non pertanian, tetapi juga diharapkan akan mampu
mengurangi perbedaan (menciptakan keseimbangan) pembangunan antar daerah maupun
antar wilayah serta optimalisasi sumberdaya nasional.
Adanya
kebijakan harga yang menetapkan harga pasar dari produk hasil pertanian akan
membantu petani dalam kegiatan pemasaran yang tidak lagi bergantung pada harga
dari tengkulak yang biasanya cenderung rendah. Kebijakan harga juga menjadi
salah satu solusi yang lebih efektif dibandingkan dengan adanya subsidi dalam
pembangunan pertanian di era globalisasi. Kegiatan subsidi menjadikan petani
ketergantungan dan tidak bisa mengembangkan usahataninya karena terus berpacu
pada subsidi. Sedangkan dengan adanya ketetapah harga petani akan berfokus pada
peningkatan produktivitas usahataninya agar dapat menghasilkan keuntungan yang
optimal.
BAB 4. PENUTUP
4.1
Kesimpulan
1. Faktor penyabab adanya kebijakan harga produk
pertanian adalah tingkat harga hasil pertanian cenderung berfluktuatif atau
tidak stabil yang disebabkan oleh permintaan dan penawaran terhadap barang
pertanian yang sifatnya tidak elastis.
2. Sistem kebijakan harga yang dapat dilakukan untuk produk pertanian yaitu
penetapan semacam harga dasar yaitu Harga Pembelian
Pemerintah (HPP) untuk komoditas hasil pertanian dan mengenakan tarif, kuota,
pengaturan waktu impor serta operasi pasar (OP) untuk komoditas pertanian
tertentu.
3. Adanya
kebijakan harga produk hasil pertanian akan membantu petani meningkatkan harga
jual produk pertaniabkan ketergantungan akan subsidi, dan peningkatan
produktivitas usahatani agar dapat menghasilkan keuntungan yang optimal.
4.2
Saran
1. Perlu adanya pengawasan dari pemerintah dan dari
petani terkait kebijakan harga yang diberlakukan untuk produk pertanian agar
tidak terjadi permasalahan dalam kegiatan pemasaran .