Jumat, 14 November 2014

KEBIJAKAN HARGA PRODUK PERTANIAN SEBAGAI SALAH SATU CARA PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI



BAB 1. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang berarti negara yang mengandalkan sektor pertanian baik sebagai sumber mata pencaharian maupun sebagai penopang pembangunan. Sektor pertanian meliputi subsektor tanaman bahan makanan, subsektor holtikultura, subsektor perikanan, subsektor peternakan, dan subsektor kehutanan. Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat dominan dalam pendapatan masyarakat di Indonesia karena mayoritas penduduk Indonesia bekerja sebagai petani. Namun produktivitas pertanian masih jauh dari harapan. Salah satu faktor penyebab kurangnya produktivitas pertanian adalah sumber daya manusia yang masih rendah dalam mengolah lahan pertanian dan hasilnya. Mayoritas petani di Indonesia masih menggunakan sistem manual dalam pengolahan lahan pertanian (Dimas, 2011).
Istilah umum pertanian berarti kegiatan menanami tanah dengan tanaman yang nantinya menghasilkan sesuatu yang dapat dipanen, dan kegiatan pertanian merupakan campur tangan manusia terhadap tetumbuhan asli dan daur hidupnya. Pada pertanian modern, campur tangan manusia ini semakin jauh dalam bentuk masukan bahan kimia pertanian, termasuk pupuk kimia, pestisida dan bahan pembenah tanah lainnya. Bahan-bahan tersebut mempunyai peranan yang cukup besar dalam peningkatan produksi tanaman (Sutanto, 2002).
Sektor pertanian berperan penting terhadap perekonomian nasional, sumbangannya terhadap pendapatan devisa negara di luar minyak dan gas bumi serta dalam perekonomian rakyat tidak bisa di abaikan. Kondisi pertanian yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan memiliki pasar yang luas akan mendapat prioritas utama dalam pengembangannya. Dengan demikian, penemuan terhadap kebutuhan pangan, bahan baku industri, peningkatan lapangan kerja, peningkatan kesempatan berusaha dan peningkatan ekspor komoditi pertanian diharapkan dapat terjamin dan berkesinambungan. Meningkatnya taraf hidup dan terbukanya kesempatan untuk menciptakan peluang kerja ditandai oleh banyaknya investor ataupun masyarakat dan pemerintah dalam melakukan pembangunan
Pembangunan pertanian yang berhasil dapat diartikan jika terjadi pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi dan sekaligus terjadi perubahan yang lebih baik. Sektor pertanian di Indonesia dianggap penting, hal ini terlihat dari peranan sektor pertanian terhadap penyediaan lapangan kerja, penyediaan pangan, penyumbang devisa Negara melalui ekspor dan sebagainya. Aspek penting dalam pengembangan usahatani adalah bagaimana cara meningkatkan secara kontinyu produk usaha tani yang senantiasa menguntungkan. Peningkatan produk usahatani dapat dilakukan dengan cara intensifikasi, ekstensifikasi, diversivikasi dan rehabilitasi sehingga kesejahteraan petani dapat tercapai. Petani berkepentingan meningkatkan penghasilan pertaniannya dan penghasilan keluarga serta berkepentingan juga menekan biaya produksi serendah-rendahnya dan menaikkan penerimaan dari hasil penjualan sebesar-besarnya. Dengan demikian agar pengembangan usahatani dapat berjalan secara efektif harus berkaitan dengan tujuan sosial, ekonomi ataupun sumberdaya lainnya (Soekartawi dalam Aufa, 2011).
Pada subsistem pemasaran produk pertanian berupa sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan terus mengalami perkembangan pesat baik di pasar domestik maupun pasar internasional, serta memiliki peran yang sangat strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Di satu sisi pemasaran hasil pertanian masih mengalami banyak permasalahan dan kendala seperti mutu dan kualitas produk yang masih rendah, harga yang berfluktuatif sehingga menyulitkan dalam manajemen perencanaan, infrastruktur pemasaran yang masih kurang memadai, inefisiensi produk, integrasi pasar yang rendah, jaringan dan informasi pasar masih lemah serta sumber daya manusia pertanian yang belum dimaksimalkan. Dilain pihak pemasaran pertanian dalam negeri mengalami tantangan dengan tebukanya pasar internasional atau globalisasi perdagangan. Kondisi yang demikian akan menyebabkan arus perdagangan produk pertanian semakin bebas. Perlu adanya program pemerintah adalah untuk melindungi dan meningkatkan pendapatan petani salah satunya masalah kebijakan harga produk hasil pertanian.
1.2  Rumusan Masalah
1.    Faktor apa yang menyebabkan adanya kebijakan harga jual produk pertanian?
2.    Bagaimana sistem yang digunakan terkait kebijakan harga jual produk prtanian?
3.    Bagaimana pengaruh kebijakan harga jual peroduk pertanian terhadap pembangunan pertanian di era globalisasi?

1.3  Tujuan
1.    Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan adanya kebijakan harga jual produk pertanian.
2.    Untuk mengetahui sistem yang digunakan terkait kebijakan harga jual produk prtanian.
3.    Untuk mengetahui pengaruh kebijakan harga jual peroduk pertanian terhadap pembangunan pertanian di era globalisasi

















BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Pembangunan Pertanian
Pertanian Indonesia dulu hanya diarahkan untuk makanan atau pangan. Padahal pertanian bisa menyadiakan bahan mentah untuk industri manufaktur, untuk industri kerajinan ukir-ukiran, kayu anyaman dan lain-lainnya, di samping itu untuk bahan bangunan. Selain itu, pertanian pun bisa diarahkan untuk meningkatkan devisa sekaligus memproduksi barang substitusi impor. Kondisi krisis ekonomi yang dialami Indonesia telah membangkitkan kesadaran sebagian publik dan pembuat kebijakan tentang betapa pentingnya pembangunan bidang pertanian. Bidang pertanian telah menunjukkan ketahanan yang luar biasa dalam pembangunan nasional dan bahkan mampu menjamin keberlangsungan kehidupan dan pendapatan bagi kebanyakan masyarakat pada kondisi krisis dewasa ini. Pertanian mempunyai potensi tidak saja untuk menjadi tumpuan dalam penyerapan tenaga kerja dan membuka berbagai lapangan usaha, tetapi juga dapat diandaikan sebagai penghasil dan sekaligus penghemat devisa. Pentingnya pembangunan bidang pertanian telah dimunculkan, namun langkah-langkah kebijakan strategis dan praktisnya masih belum tampak dengan jelas (Hariyadi et al, 2000).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai buah keberhasilan pembangunan telah menimbulkan dampak negatif terhadap ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan. Sebagai gambaran, sektor pertanian yang bertumpu pada potensi sumber daya alam banyak mengalami pengurasan sehingga ketersediaan dan kualitas sumber daya alam makin menurun. Akibatnya, setelah hampir empat dasawarsa pembangunan berlangsung, kondisi pertanian nasional masih dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain: 1) menurunnya kesuburan dan produktivitas lahan, 2) berkurangnya daya dukung lingkungan, 3) meningkatnya konversi lahan pertanian produktif, 4) meluasnya lahan kritis, 5) meningkatnya pencemaran dan kerusakan lingkungan, 6) menurunnya nilai tukar, penghasilan dan kesejahteraan petani, 7) meningkatnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran di pedesaan, dan 8) terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat. Masalah tersebut muncul karena pembangunan selama ini cenderung bias pada pemacuan pertumbuhan produksi, serta peran pemerintah dan swasta sangat dominan. Masyarakat petani hanya berperan sebagai objek, bukan sebagai subjek pembangunan. Sektor pertanian juga tidak lagi ditempatkan sebagai fondasi ekonomi nasional, tetapi sebagai penyangga untuk menyukseskan industrialisasi sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi (Saptana dan Ashari, 2007).
Menurut Feryanto (2010), logika pembangunan pertanian selama ini di Indonesia merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional, di mana pertumbuhan ekonomi menjadi orientasi utama. Pembangunan pertanian masa depan merupakan proses berkelanjutan, peningkatan, pendalaman, perluasan dan pembaharuan pembangunan pertanian yang telah dilaksanakan sebelumnya. Sektor agribisnis mempunyai peranan penting didalam pembangunan. Ada lima peran penting dari sektor pertanian dalam kontribusi pembangunan ekonomi antara lain meningkatkan produksi pangan untuk konsumsi domestik, penyedia tenaga kerja terbesar, memperbesar pasar untuk industri, meningkatkan supply uang tabungan dan meningkatkan devisa. Sampai saat ini, peranan sektor pertanian di Indonesia begitu besar dalam mendukung pemenuhan pangan dan memberikan lapangan kerja bagi rumah tangga petani. Tahun 2003, sektor pertanian mampu memperkerjakan sebanyak 42 juta orang atau 46,26 persen dari penduduk yang bekerja secara keseluruhan.
          Pembangunan pertanian terjadi dalam kerangka transformasi pembangunan nasional yang berporoskan pada transformasi pertanian. Transformasi pembangunan secara keseluruhan meliputi lima bentuk transformasi, yakni transformasi demografi, transformasi spasial, transformasi ekonomi, transformasi tatakelola pembangunan dan transformasi kelembagaan. Transformasi demografi dicirikan dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, dengan laju pertumbuhan yang secara bertahap mengalami pelambatan. Transformasi spasial merujuk pada perubahan dominasi sektor-sektor ekonomi dan kondisi fisik lingkungan antarwilayah yang menghasilkan berbagai bentuk disparitas pembangunan antar wilayah. Transformasi ekonomi Indonesia merupakan proses perubahan komposisi sektor-sektor di dalam perekonomian nasional, umumnya dari berbasis pertanian berubah menjadi berbasis industri dan jasa. Transformasi tata kelola pembangunan diarahkan untuk memberikan keluasan kewenangan bagi pengambilan keputusan untuk menciptakan pembangunan pertanian yang berbasis kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Transformasi kelembagaan dilakukan pada tiga bentuk. Pertama transformasi kelembagaan level mikro para petani dengan organisasinya maupun pada kelembagaan pemerintahan desa. Kedua, transformasi kelembagaan dalam sistem pemerintahan yang mampu menciptakan keterpaduan lintas sektor guna mewujudkan pertanian-bioindustri berkelanjutan. Ketiga, transformasi kelembagaan dalam sistem nilai yang secara operasional diwujudkan dengan transformasi sistem indikator pembangunan yang lebih berorientasi pada tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan (Kementrian pertanian, 2013).
Pembangunan pertanian tidak terlepas dari pengembangan kawasan pedesaan yang menempatkan pertanian sebagai penggerak utama perekonomian. Lahan, potensi tenaga kerja, dan basis ekonomi lokal pedesaan menjadi  faktor utama pengembangan pertanian. Saat ini, disadari bahwa pembangunan pertanian tidak saja bertumpu di desa tetapi juga diperlukan integrasi dengan kawasan dan dukungan sarana serta prasarana yang tidak saja berada di pedesaan, tetapi juga wilayah perkotaan. Struktur perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan suatu wilayah dengan wilayah lainnya, perbedaan tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi dan potensi suatu wilayah dari segi fisik lingkungan, sosial ekonomi dan kelembagaan. Faktor-faktor yang penting dan harus ada dalam proses pembangunan pertanian adalah sebagai berikut: (a) agribisnis merupakan suatu sistem, sehingga semua kegiatan yang terdapat dalam sistem tersebut harus saling terkait dan tidak berdiri sendiri, (b) agribisnis merupakan alternatif bagi pengembangan strategi pembangunan ekonomi, dan (c) agribisnis berorientasi pasar dan perolehan nilai tambah dari suatu komoditas (Feryanto, 2010).

2.2 Teori Ketetapan Harga Produk Pertanian
Harga adalah segala bentuk biaya moneter yang dikorbankan oleh konsumen untuk memperoleh, memiliki, memanfaatkan sejumlah kombinasi dari barang beserta pelayanan dari suatu produk. Penetapan harga jual berpotensi menjadi suatu masalah karena keputusan penetapan harga jual cukup komplekscdan harus memperhatikan berbagai aspek yang mempengaruhinya. Ketidakstabilan kurs Dollar terhadap Rupiah telah merugikan banyak pelaku usaha di sektor riil. strategi penetapan harga saat kondisi nilai kurs fluktuatif sehingga masih dapat mempertahankan keuntungan atau meminimalisasi kerugian (Aditya, 2013).
Posisi harga produk pertanian sebagai produk utama sangat menentukan besarnya jumlah permintaan produk tersebut. Apabila karakter produk pertanian memiliki nilai elastisitas  permintaan yang rendah, akan menyebabkan gerakan harga akan senantiasa dalam arah  yang menaik. Sebagai produk pertanian memiliki tingkat elastisitas permintaan yang tidak elastis karena jika harga produk naik, para pembeli enggan untuk mencari barang pengganti (karena merupakan produk utama) dan oleh karenanya harus tetap membeli produk tersebut sehingga permintaannya tidak akan banyak berubah. Karakter elastisitas permintaan produk pertanian tersebut cendrung mendorong para pedagang untuk menaikkan tingkat haraga produk pertanian sehingga terjadilah gerak harga produk yang semakin menaik. Hal ini menyebabkan terjadinya Inflasi bahan makanan yang dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi makro (Widiarsih, 2012).






BAB 3. PEMBAHASAN
3.1    Faktor Penyebab Adanya Kebijakan Harga Jual Produk Pertanian
Penurunan sektor pertanian dalam perekonomian disebabkan oleh permintaan terhadap hasil pertanian yang lambat perkembangannya dan kemajuan teknologi di sektor pertanian. Tingkat permintaan barang industri jauh lebih cepat dibanding permintaan terhadap pertanian sehingga kenaikan harga barang industri juga jauh lebih cepat dibanding dengan kenaikan harga barang pertanian. Di negara maju kemajuan teknologi berimplikasi terhadap sektor pertanian yaitu mendorong perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri dan teknologi telah menimbulkan masalah kelebihan produksi pertanian. Keadaan demikian menyebabkan harga barang pertanian cenderung untuk tetap berada pada tingkat yang sangat rendah.
Pada kondisi jangka pendek harga hasil pertanian cenderung berfluktuatif, ketidakstabilan harga tersebut bisa disebabkan oleh permintaan dan penawaran terhadap barang pertanian yang sifatnya tidak elastis. Beberapa faktor yang menyebabkan penawaran terhadap barang pertanian bersifat tidak elastis adalah: 1) produk pertanian ada umumnya bersifat musiman, 2) kapasitas memproduksi sektor pertanian cenderung untuk mencapai tingkat yang tinggi dan tidak terpengaruh oleh perubahan permintaan, 3) beberapa jenis tanaman memerlukan waktu bertahun-tahun sebelum hasilnya dapat diperoleh.
Pada dasarnya pemerintah terlibat dalam menentukan harga produk hasil pertanian dengan ingin meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya maupun keadilan dalam distribusi pendapatan dalam menentukan berapa banyak barang yang dibeli oleh individu dan mereka hanya akan mempertimbangkan manfaat yang diperolah secara pribadi, sehingga kesempatan barang tersebut yang tersedia dipasar akan sangat kecil. Pemerintah akan terlibat dalam penyediaan barang untuk memproteksi masyarakat dari penipuan, kepastian tersedianya produk, maupun keseragaman kualitas dari produk. Semua keterlibatan pemerintah tersebut ditunjukan untuk mencapai penentuan harga yang efisien.
3.2    Sistem Kebijakan Harga Jual Produk Prtanian
Komoditas pertanian strategis yang selalu menjadi isu utama pembangunan pertanian. Komoditi pertanian sangat berkaitan erat dengan kelangsungan hidup orang banyak, sehingga berbagai permasalahan yang terkait dengan komoditi ini rawan sekali untuk dipolitisir. Persoalan klasik pada komoditi pertanian, yaitu mempertahankan harga yang baik di tingkat produsen namun pada saat yang sama juga tidak terlalu memberatkan konsumen. Persoalan bertambah rumit karena komoditi pertanian umumnya ditanam secara serentak pada musim tertentu, sehingga berlebihnya pasokan pada saat panen dan langkanya pasokan disaat paceklik menjadi suatu fenomena rutin setiap tahunnya. Instrumen kebijakan yang pada intinya dimaksudkan untuk mencegah terjadinya gejolak harga. Kebijakan tersebut antara lain dengan menetapkan semacam harga dasar yaitu Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk komoditas hasil pertanian dan mengenakan tarif, kuota, pengaturan waktu impor serta operasi pasar (OP) untuk komoditas pertanian tertentu.
Kondisi spesifik wilayah sangat mewarnai efektivitas dari Harga Pembelian Pemerintah, sehingga penentuan kebijakan yang seragam secara nasional sangat tidak dianjurkan. Saatnya pemerintah memikirkan kemungkinan mendelegasikan semua persoalan berkaitan dengan kecukupan pangan, utamanya beras pada pemerintah daerah, dalam hal ini kabupaten. Pemerintah pusat hanya perlu membuat rambu-rambu dan pedoman dalam menetapkan Harga Pembelian Pemerintah. Sementara itu wilayah seperti kabupaten berdasarkan kondisi spesifik yang ada bisa membuat kebijakan yang sesuai didaerahnya. Agar menjamin stabilisasi harga di tingkat petani, berbagai inisiatif lokal yang ada seperti kelompok kerja atau kemitraan akan lebih efektif daripada lembaga bentukan dari pusat. Dalam jangka panjang, sejalan dengan semangat otonomi daerah, maka kemampuan pemerintah daerah dalam menjamin stabilisasi harga produk pertanian di wilayahnya, serta kecukupan pangan bagi masyaraktanya merupakan salah satu kriteria utama yang dijadikan acuan dalam menilai kinerja pemerintah daerah.
Menjaga kestabilan harga dan pendapatan petani, perlu campur tangan pemerintah dalam penetuan produksi dan harga, adapun cara yang dapat dilakukan adalah: 1) Membatasi atau menetukan kuota tingkat produksi yang dapat dilakukan oleh produsen (pengaturan pola tanam), 2) Melakukan pembelian-pembelian produk yang akan distabilkan harganya di pasar bebas, 3) memeberikan pengarahan atau bantuan kepada petani apabila harga pasar lebih rendah dari pada harga yang dinggap sesuai oleh pemerintah.

3.3    Pengaruh Kebijakan Harga Jual Produk Pertanian terhadap Pembangunan Pertanian Di Era Globalisasi
Fluktuasi nilai tukar petani akan menunjukkan fluktuasi kemampuan pembayaran ataupun tingkat pendapatan riil petani. Kegiatan pertanian tentu saja tidak lepas dari kegiatan di luar sektor pertanian, dengan demikian nilai tukar petani juga dipengaruhi oleh peran dan perilaku di luar sektor pertanian. Perbaikan dan peningkatan nilai tukar petani yang mengindikasikan  peningkatan kesejahteraan petani akan terkait dengan kegairahan petani untuk berproduksi. Hal ini akan berdampak ganda tidak saja dalam peningkatan partisipasi petani dan produksi pertanian dalam menggairahkan perekonomian pedesaan, penciptaan lapangan pekerjaan di pedesaan dan menumbuhkan permintaan produk non pertanian, tetapi juga diharapkan akan mampu mengurangi perbedaan (menciptakan keseimbangan) pembangunan antar daerah maupun antar wilayah serta optimalisasi sumberdaya nasional.
Adanya kebijakan harga yang menetapkan harga pasar dari produk hasil pertanian akan membantu petani dalam kegiatan pemasaran yang tidak lagi bergantung pada harga dari tengkulak yang biasanya cenderung rendah. Kebijakan harga juga menjadi salah satu solusi yang lebih efektif dibandingkan dengan adanya subsidi dalam pembangunan pertanian di era globalisasi. Kegiatan subsidi menjadikan petani ketergantungan dan tidak bisa mengembangkan usahataninya karena terus berpacu pada subsidi. Sedangkan dengan adanya ketetapah harga petani akan berfokus pada peningkatan produktivitas usahataninya agar dapat menghasilkan keuntungan yang optimal.
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Faktor penyabab adanya kebijakan harga produk pertanian adalah tingkat harga hasil pertanian cenderung berfluktuatif atau tidak stabil yang disebabkan oleh permintaan dan penawaran terhadap barang pertanian yang sifatnya tidak elastis.
2. Sistem kebijakan harga yang dapat dilakukan untuk produk pertanian yaitu penetapan semacam harga dasar yaitu Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk komoditas hasil pertanian dan mengenakan tarif, kuota, pengaturan waktu impor serta operasi pasar (OP) untuk komoditas pertanian tertentu.
3. Adanya kebijakan harga produk hasil pertanian akan membantu petani meningkatkan harga jual produk pertaniabkan ketergantungan akan subsidi, dan peningkatan produktivitas usahatani agar dapat menghasilkan keuntungan yang optimal.

4.2 Saran
1. Perlu adanya pengawasan dari pemerintah dan dari petani terkait kebijakan harga yang diberlakukan untuk produk pertanian agar tidak terjadi permasalahan dalam kegiatan pemasaran .










KELANGKAAN SUMBER DAYA LAHAN SEBAGAI AKIBAT KONVERSI LAHAN BERKEPANJANGAN




PENDAHULUAN
Sumber daya alam merupakan kekayaan bumi yang memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Sebagai salah satu sumber penting  pembiayaan pembangunan, sumber daya alam yang ada saat ini masih belum dirasakan manfaatnya secara nyata oleh sebagian besar masyarakat. Pengelolaan sumber daya alam tersebut belum memenuhi prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan. Selain itu lingkungan hidup juga menerima beban pencemaran yang tinggi akibat pemanfaatan sumber daya alam dan aktivitas manusia lainnya yang tidak memperhatikan pelestarian lingkungan. Persebaran sumber daya alam tidak selamanya melimpah, ada beberapa sumber daya alam yang terbatas  jumlahnya, dan dalam proses pembentukannya membutuhkan jangka waktu yang relatif lama. Oleh sebab itu, ada dua jenis sumber daya alam yaitu sumber daya alam yang dapat di  perbaharui dan sumber daya alam yang tidak dapat di  perbaharui. Alam memiliki kemampuan untuk memberikan kehidupan bagi penduduk dunia. Potensi yang ada pada alam untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang sering disebut dengan natural resources bumi dengan segala isinya yang terkandung di dalamnya.
Sumber daya lahan merupakan sumber daya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk pertanian, daerah industri, daerah pemukiman, jalan untuk transportasi, daerah rekreasi atau daerah-daerah yang dipelihara kondisi alamnya untuk tujuan ilmiah. Sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Oleh karena itu sumberdaya lahan dapat dikatakan sebagai ekosistem karena adanya hubungan yang dinamis antara organisme yang ada di atas lahan tersebut dengan lingkungannya.
Daerah perdesaan banyak memiliki lahan yang memiliki vegetasi yang rapat bila dibandingkan dengan perkotaan. Apabila daerah pedesaan berubah menjadi daerah perkotaan maka akan terjadi perubahan lingkungan yang besar. Beberapa tempat-tempat akan mengalami perkerasan, seperti pembangunan perumahan, infrastruktur dan bangunan lainnya merubah struktur tanah terutama pada permukaannya dan keadaan vegetasi semula. Dalam kondisi seperti ini laju infiltrasi air hujan masuk ke dalam tanah menjai rendah. Sebaliknya, air permukaan akan lebih banyak dibandingkan dengan air yang masuk ke dalam
tanah melalui infiltrasi.
Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutannya (untuk jangka pendek) sehingga kelestariannya semakin terancam. Akibatnya, sumber daya lahan yang berkualitas tinggi menjadi berkurang dan manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal (kualitas lahan yang rendah). Hal ini berimplikasi pada semakin berkurangnya ketahanan pangan, tingkat dan intensitas pencemaran yang berat dan kerusakan lingkungan lainnya. Dengan demikian, secara keseluruhan aktifitas kehidupan cenderung menuju sistem pemanfaatan sumberdaya alam dengan kapasitas daya dukung yang menurun. Di lain pihak, permintaan akan sumberdaya lahan terus meningkat akibat tekanan pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita
Alih fungsi lahan khususnya lahan pertanian yang tinggi disebabkan penerapan Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) pemerintah kabupaten/kota kurang berpihak ke sektor pertanian. Kondisi ini juga menyebabkan menurunnya produksi pangan dan mengancam kondisi ketahanan pangan. Secara faktual, konversi lahan pertanian ke non pertanian bersifat irreversible, dalam arti bahwa lahan pertanian yang telah berubah fungsi untuk kepentingan non pertanian sangat kecil kemungkinannya untuk dapat dikembalikan menjadi lahan pertanian. Dalam kasus-kasus tertentu, konversi lahan sawah memang tak dapat dihindari. Meskipun demikian, sesungguhnya dapat diperkecil apabila ada komitmen yang kuat dari pemerintah. Berdasarkan uraian diatas perlu diketahui apa saja faktor yang mempengaruhi konversi lahan, bagaimana dampak dari konversi lahan serta bagaimana penyelesaiannya.

PEMBAHASAN
Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Pada bidang pertanian, lahan merupakan sumber daya yang sangat penting, baik bagi petani maupun bagi pembangunan pertanian. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa di Indonesia kegiatan pertanian masih bertumpu pada lahan (land based agricultuare activities). Akhir-akhir ini, sejalan dengan meningkatnya taraf hidup dan terbukanya kesempatan untuk menciptakan peluang kerja yang ditandai oleh banyaknya investor ataupun masyarakat dan pemerintah dalam melakukan pembangunan, semakin meningkat kebutuhan akan lahan. Peningkatan kebutuhan lahan didorong oleh peningkatan jumlah penduduk, sementara ketersediaan dan luas lahan bersifat tetap. Hal ini mengakibatkan terjadinya realokasi penggunaan lahan dari aktivitas yang kurang menguntungkan pada aktivitas yang lebih menguntungkan. Aktivitas yang selalu terancam terutama adalah aktivitas pertanian yang dinilai kurang menguntungkan dibanding aktivitas ekonomi lainnya (Catur et al, 2010).
Merujuk pada Undang-undang (UU) Nomor 41/2009 tentang PLP2B dan instruksi Menteri Pertanian RI, akhirnya Perda Perlindungan Lahan Pertanian ini didorong sebagai bentuk tindak lanjut. Sehingga upaya strategis pengendalian alih fungsi lahan pertanian dianggap perlu ditopang dengan produk hukum daerah, untuk menjamin tersedianya lahan pertanian yang cukup dan berkelanjutan, serta mencegah terjadinya alih fungsi lahan, menjamin akses masyarakat petani terhadap lahan pertanian. UU Perlindungan lahan pertanian itu dimaksudkan untuk menjaga agar tersedia cukup lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh masyarakat. Selain itu, UU ini juga dimaksudkan agar lahan tanaman pangan yang produktif sekarang tidak beralih fungsi. Faktanya, jumlah lahan pertanian produktif terus mengalami penurunan. Setiap tahun, jumlah lahan pertanian produktif berkurang cukup banyak. Berkurangnya luas lahan pertanian produktif setiap tahunnya tidak sebanding dengan jumlah pencetakan lahan pertanian baru. Hingga saat ini, upaya rehabilitasi dan pencetakan lahan baru setiap tahun masih menghadapi banyak kendala serius (Taufiq, 2011).
Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Alih fungsi (konversi) lahan merupakan perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi non pertanian. Konversi lahan adalah berubahnya satu penggunaan lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi lahan banyak terkait dengan kebijakan tataguna tanah. Kegiatan konversi lahan memiliki beragam pola tertentu tergantung pada kebutuhan dari usaha konversi lahan. Pola konversi lahan dapat ditinjau dari beberapa aspek. Pertama, menurut pelaku konversi, yang dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan dan 2) Alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan. Pola konversi lahan yang ditinjau menurut prosesnya terbagi menjadi dua yaitu gradual dan seketika (Lestari dan Dharmawan, 2011).
Intensitas alih fungsi lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang beralih fungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi  dimana tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan penunjang pengembangan produksi telah maju. Proses alih fungsi lahan sawah pada umumnya berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) yang jauh lebih tinggi, misalnya untuk pembangunan kawasan industri, kawasan perumahan, dan sebagainya atau untuk pemenuhan kebutuhan mendasar seperti prasarana umum yang diprogramkan pemerintah, atau untuk lahan tempat tinggal pemilik lahan yang bersangkutan. Dorongan-dorongan bagi terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian tidak sepenuhnya bersifat alamiah, tetapi ada juga yang secara langsung atau tidak langsung dihasilkan oleh proses kebijaksanaan pemerintah. Faktor-faktor pendorong terjadinya alih fungsi lahan diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Faktor pertambahan penduduk yang begitu cepat berimplikasi kepada permintaan terhadap lahan pemukiman yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya jumlah penduduk akan mempengaruhi tingkat kebutuhan akan papan, hal tersebut akan memicu terjadinya pembukaan lahan baru yang akan dijadikan sebagai pemukiman baru. Saat ini banyak lahan-lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi pemukiman, sehingga menyebabkan berkurangnya luas lahan pertanian karena pembangunan pemukiman yang terjadi, tidak hanya di daerah yang memang layak dijadikan sebagai area pemukiman
2.    Faktor ekonomi yang identik dengan masalah kemiskinan. Masyarakat pedesaan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui hasil penjualan kegiatan pertanian yang umumnya rendah, berusaha mencari bentuk usaha lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk mendapatkan modal dalam memulai usahanya, petani pada umumnya menjual tanah yang dimilikinya. Masyarakat pedesaan beranggapan akan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dari penjualan lahan pertanian untuk kegiatan industri dibandingkan harga jual untuk kepentingan persawahan. Di sisi lain pengerjaan lahan pertanian memerlukan biaya tinggi sedangkan hasil yang didapat hanya sedikit. Sehingga petani lebih memilih sebagian tanah pertaniannya untuk dijual untuk kegiatan non-pertanian.
3.    Faktor luar, yaitu pengaruh warga dari desa-kelurahan perbatasan yang telah lebih dahulu menjual tanah mereka kepada pihak Perseroan Terbatas (PT).
4.    Adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar. Konversi lahan terjadi karena kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai tata ruang wilayah, atau rencana tata ruang wilayah yang sulit diwujudkan. Selain itu juga terdapat kebijakan pembangunan yang menekankan pada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, maka perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke nonpertanian terjadi secara meluas. Tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian ialah:
a.       Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar.
b.      Kebijakan pembangunan permukiman skala besar dan kota baru. Akibat dari penerapan kebijakan ini ialah munculnya spekulan yang mendorong minat para petani menjual lahannya.
c.       Kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket kebijakan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam memproses perizinan lokasi. Akibat kebijakan ini ialah terjadi peningkatan sangat nyata dalam hal permohonan izin lokasi baik untuk kawasan industri, permukiman skala besar, maupun kawasan pariwisata.

Konversi lahan telah menyebabkan perubahan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perubahan yang dimaksud berhubungan dengan perubahan struktur agraria, proses marginalisasi atau kemiskinan dan pelaku konversi (warga masyarakat) ‘tersubordinasi’ oleh pihak pemanfaat konversi. Secara khusus implikasi dari perubahan struktur agraria adalah perubahan pola penguasaan agraria, pola nafkah, pola hubungan produksi dan perubahan orientasi nilai terhadap sumberdaya agraria. Perubahan tersebut tidak lepas dari faktor konversi sebagaimana dijelaskan di atas. Dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa keterkaitan antara faktor konversi dan dampak yang diakibatkannya menunjukkan ‘ruang permasalahan agraria’. Dari ruang permasalahan agraria tersebut dapat diketahui bahwa konversi lahan telah meningkatkan keidak-adilan agraria (Sihaloho, et al. 2007).
 

Perubahan pada luas lahan usahatani sebagai akibat konversi lahan pertanian membuat perubahan pada kondisi sosial ekonomi petani. Konversi lahan pertanian umumnya membuat kesejahteraan petani menurun karena tidak adanya peningkatan akses pekerjaan non-petanian yang dapat menambah penghasilan petani. Konversi lahan pertanian juga menimbulkan berbagai masalah yaitu dapat menyebabkan adanya pergeseran struktur ketenagakerjaan dan penguasaan kepemilikan lahan pertanian serta adanya transformasi struktur ekonomi dari pertanian ke industri. Selain itu pendapatan petani akan semakin sedikit dan akan mengalami kesulitan untuk membiayai kebutuhan sehari-harinya. Alih fungsi berdampak pada produktivitas tanaman pangan khususnya untuk tahun-tahun berikutnya, sebab dengan beralih fungsinya tanah pertanian menyebabkan meningkatnya peluang produksi tanaman pangan yang hilang sehingga akan menyebabkan permasalahan pangan semakin besar dari tahun ke tahun atau bersifat progresif.
Penyebab terjadinya alih fungsi lahan pertanian bersifat multidimensi. Upaya pengendaliannya tidak mungkin hanya dilakukan melalui satu pendekatan saja. Mengingat nilai keberadaan lahan pertanian bersifat multi fungsi, maka keputusan untuk melakukan pengendalian, harus memperhitungkan berbagai aspek yang melekat pada eksistensi lahan itu sendiri. Hal tersebut mengingat lahan yang ada mempunyai nilai yang berbeda, baik ditinjau dari segi jasa  (service) yang dihasilkan maupun beragam fungsi yang melekat di dalamnya.
Pearce and Turner dalam Iqbal (2007), merekomendasikan tiga pendekatan secara bersamaan dalam kasus pengendalian  alih fungsi lahan sawah  yaitu melalui: (1)  regulation, (2) acquisition and management; dan (3) incentive and charge. Uraian singkat dari ketiga pendekatan tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Regulation, melalui pendekatan ini pengambil kebijakan perlu menetapkan sejumlah aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada. Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis, ekonomis, dan sosial, pengambil kebijakan  bisa melakukan pewilayahan (zoning) terhadap lahan yang ada serta kemungkinan bagi proses alih fungsi. Selain itu, perlu mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada dalam proses alih fungsi lahan. Pada tatanan praktisnya, pola ini telah diterapkan pemerintah melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan pembentukan Tim Sembilan di tingkat kabupaten dalam proses alih fungsi lahan, tetapi pelaksanaan di lapang belum sepenuhnya konsisten menerapkan aturan yang ada.
2.    Acquisition and Management adalah melalui pendekatan ini pihak terkait perlu menyempurnakan sistem dan aturan jual beli lahan serta penyempurnaan pola penguasaan lahan  (land tenure system) yang ada guna mendukung upaya ke arah mempertahankan keberadaan lahan pertanian.
3.    Incentive and Charges, yaitu melalui pemberian subsidi kepada para petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang mereka miliki, serta penerapan pajak yang menarik bagi yang mempertahankan keberadaan lahan pertanian, merupakan bentuk pendekatan lain yang disarankan dalam upaya pencegahan alih fungsi lahan pertanian. Selain itu, pengembangan prasarana yang ada lebih diarahkan untuk mendukung pengembangan kegiatan budidaya pertanian berikut usaha ikutannya.
Penerapan perundang-undangan dan peraturan pengendalian alih fungsi lahan saat ini kurang berjalan efektif ,  maka perlu diwujudkan suatu kebijakan alternatif. Kebijakan alternatif tersebut diharapkan mampu memecahkan kebuntuan pengendalian alih fungsi lahan sebelumnya. Adapun komponennya antara lain instrumen hukum dan ekonomi, zonasi, dan inisiatif masyarakat. Instrumen hukum meliputi penerapan perundang-undangan dan peraturan yang mengatur mekanisme alih fungsi lahan. Sementara itu, instrumen ekonomi mencakup insentif, disinsentif, dan kompensasi. Kebijakan pemberian insentif diberikan kepada pihak -pihak yang mempertahankan lahan dari alih fungsi.

PENUTUP
            Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan khususnya pada bidang pertanian. Alih fungsi lahan disebabkan oleh faktor pertambahan jumlah penduduk, faktor ekonomi, adanya pengaruh dari pihak lain, serta adanya kebijakan-kebijakan terkait tata ruang wilayah. Alih fungsi lahan akan berdampak pada produktifitas hasil pertanian yang berlanjut pada kuantitas ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan, dan aksesibilitas rumah tangga terhadap bahan pangan. Terdapat tiga pendekatan secara bersamaan dalam kasus pengendalian  alih fungsi lahan yaitu melalui regulation, acquisition and management; dan incentive and charge.