PENDAHULUAN
Sumber daya alam
merupakan kekayaan bumi yang memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai salah satu sumber penting pembiayaan pembangunan, sumber daya alam yang ada saat ini
masih belum dirasakan manfaatnya
secara nyata oleh sebagian besar masyarakat. Pengelolaan sumber daya alam
tersebut belum memenuhi prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan. Selain itu
lingkungan hidup juga menerima beban pencemaran yang tinggi akibat pemanfaatan
sumber daya alam dan aktivitas manusia lainnya yang tidak memperhatikan
pelestarian lingkungan. Persebaran sumber daya alam tidak selamanya melimpah, ada
beberapa sumber daya alam yang terbatas jumlahnya, dan dalam proses pembentukannya
membutuhkan jangka waktu yang relatif lama. Oleh sebab itu, ada dua jenis sumber
daya alam yaitu sumber daya alam yang dapat di perbaharui dan sumber daya
alam yang tidak
dapat di perbaharui.
Alam memiliki kemampuan untuk memberikan kehidupan bagi penduduk dunia. Potensi yang ada pada alam untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia yang sering disebut dengan natural resources bumi dengan segala
isinya yang terkandung di dalamnya.
Sumber daya lahan merupakan sumber daya alam yang
sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap
kegiatan manusia, seperti untuk pertanian, daerah industri, daerah pemukiman,
jalan untuk transportasi, daerah rekreasi atau daerah-daerah yang dipelihara
kondisi alamnya untuk tujuan ilmiah. Sumberdaya lahan (land resources) sebagai
lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta
benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan.
Oleh karena itu sumberdaya lahan dapat dikatakan sebagai ekosistem karena
adanya hubungan yang dinamis antara organisme yang ada di atas lahan tersebut
dengan lingkungannya.
Daerah perdesaan banyak memiliki lahan yang memiliki
vegetasi yang rapat bila dibandingkan dengan perkotaan. Apabila daerah pedesaan
berubah menjadi daerah perkotaan maka akan terjadi perubahan lingkungan yang
besar. Beberapa tempat-tempat akan mengalami perkerasan, seperti pembangunan
perumahan, infrastruktur dan bangunan lainnya merubah struktur tanah terutama
pada permukaannya dan keadaan vegetasi semula. Dalam kondisi seperti ini laju infiltrasi
air hujan masuk ke dalam tanah menjai rendah. Sebaliknya, air permukaan akan
lebih banyak dibandingkan dengan air yang masuk ke dalam
tanah melalui infiltrasi.
Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan
manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin
tinggi, pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan
aspek keberlanjutannya (untuk jangka pendek) sehingga kelestariannya semakin
terancam. Akibatnya, sumber daya lahan yang berkualitas tinggi menjadi
berkurang dan manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat
marginal (kualitas lahan yang rendah). Hal ini berimplikasi pada semakin
berkurangnya ketahanan pangan, tingkat dan intensitas pencemaran yang berat dan
kerusakan lingkungan lainnya. Dengan demikian, secara keseluruhan aktifitas
kehidupan cenderung menuju sistem pemanfaatan sumberdaya alam dengan kapasitas
daya dukung yang menurun. Di lain pihak, permintaan akan sumberdaya lahan terus
meningkat akibat tekanan pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi per
kapita
Alih fungsi lahan khususnya
lahan pertanian yang tinggi disebabkan penerapan Rancangan Tata Ruang dan
Wilayah (RTRW) pemerintah kabupaten/kota kurang berpihak ke sektor pertanian.
Kondisi ini juga menyebabkan menurunnya produksi pangan dan mengancam kondisi
ketahanan pangan. Secara faktual, konversi lahan pertanian ke non pertanian bersifat
irreversible, dalam arti bahwa lahan
pertanian yang telah berubah fungsi untuk kepentingan non pertanian sangat
kecil kemungkinannya untuk dapat dikembalikan menjadi lahan pertanian. Dalam kasus-kasus tertentu, konversi
lahan sawah memang tak dapat dihindari. Meskipun demikian, sesungguhnya dapat
diperkecil apabila ada komitmen yang kuat dari pemerintah. Berdasarkan uraian
diatas perlu diketahui apa saja faktor yang mempengaruhi konversi lahan,
bagaimana dampak dari konversi lahan serta bagaimana penyelesaiannya.
PEMBAHASAN
Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Pada
bidang pertanian, lahan
merupakan sumber daya yang sangat penting, baik bagi petani maupun bagi
pembangunan pertanian. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa di Indonesia
kegiatan pertanian masih bertumpu pada lahan (land based agricultuare activities). Akhir-akhir ini, sejalan
dengan meningkatnya taraf hidup dan terbukanya kesempatan untuk menciptakan
peluang kerja yang ditandai oleh banyaknya investor ataupun masyarakat dan
pemerintah dalam melakukan pembangunan, semakin meningkat kebutuhan akan lahan.
Peningkatan kebutuhan lahan didorong oleh peningkatan jumlah penduduk, sementara
ketersediaan dan luas lahan bersifat tetap. Hal ini mengakibatkan terjadinya
realokasi penggunaan lahan dari aktivitas yang kurang menguntungkan pada
aktivitas yang lebih menguntungkan. Aktivitas yang selalu terancam terutama
adalah aktivitas pertanian yang dinilai kurang menguntungkan dibanding
aktivitas ekonomi lainnya (Catur et al, 2010).
Merujuk pada
Undang-undang (UU) Nomor 41/2009 tentang PLP2B dan instruksi Menteri Pertanian
RI, akhirnya Perda Perlindungan Lahan Pertanian ini didorong sebagai bentuk
tindak lanjut. Sehingga upaya strategis pengendalian alih fungsi lahan
pertanian dianggap perlu ditopang dengan produk hukum daerah, untuk menjamin
tersedianya lahan pertanian yang cukup dan berkelanjutan, serta mencegah
terjadinya alih fungsi lahan, menjamin akses masyarakat petani terhadap lahan
pertanian. UU Perlindungan lahan pertanian itu dimaksudkan untuk menjaga agar
tersedia cukup lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh masyarakat. Selain
itu, UU ini juga dimaksudkan agar lahan tanaman pangan yang produktif sekarang
tidak beralih fungsi. Faktanya, jumlah lahan pertanian produktif terus
mengalami penurunan. Setiap tahun, jumlah lahan pertanian produktif berkurang
cukup banyak. Berkurangnya luas lahan pertanian produktif setiap tahunnya tidak
sebanding dengan jumlah pencetakan lahan pertanian baru. Hingga saat ini, upaya
rehabilitasi dan pencetakan lahan baru setiap tahun masih menghadapi banyak
kendala serius (Taufiq, 2011).
Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu
penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti
dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya,
atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda. Perubahan penggunaan
lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut
terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan
penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya
tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Alih fungsi (konversi) lahan
merupakan perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan
bagi non pertanian. Konversi lahan adalah berubahnya satu penggunaan lahan ke
penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi lahan
banyak terkait dengan kebijakan tataguna tanah. Kegiatan konversi lahan memiliki
beragam pola tertentu tergantung pada kebutuhan dari usaha konversi lahan. Pola
konversi lahan dapat ditinjau dari beberapa aspek. Pertama, menurut pelaku
konversi, yang dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Alih fungsi secara langsung oleh
pemilik lahan yang bersangkutan dan 2) Alih fungsi yang diawali dengan alih
penguasaan. Pola konversi lahan yang ditinjau menurut prosesnya terbagi menjadi
dua yaitu gradual dan seketika (Lestari dan Dharmawan, 2011).
Intensitas alih fungsi lahan masih
sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang beralih fungsi tersebut
justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi dimana tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan
penunjang pengembangan produksi telah maju. Proses alih fungsi lahan sawah pada
umumnya berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan
sektor ekonomi lain yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) yang jauh
lebih tinggi, misalnya untuk pembangunan kawasan industri, kawasan perumahan,
dan sebagainya atau untuk pemenuhan kebutuhan mendasar seperti prasarana umum
yang diprogramkan pemerintah, atau untuk lahan tempat tinggal pemilik lahan
yang bersangkutan. Dorongan-dorongan
bagi terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian tidak sepenuhnya
bersifat alamiah, tetapi ada juga yang secara langsung atau tidak langsung
dihasilkan oleh proses kebijaksanaan pemerintah. Faktor-faktor pendorong
terjadinya alih fungsi lahan diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Faktor pertambahan penduduk yang begitu cepat
berimplikasi kepada permintaan terhadap lahan pemukiman yang semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Meningkatnya
jumlah penduduk akan mempengaruhi tingkat kebutuhan akan papan, hal tersebut
akan memicu terjadinya pembukaan lahan baru yang akan dijadikan sebagai pemukiman
baru. Saat ini banyak lahan-lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi
pemukiman, sehingga menyebabkan berkurangnya luas lahan pertanian karena
pembangunan pemukiman yang terjadi, tidak hanya di daerah yang memang layak
dijadikan sebagai area pemukiman
2.
Faktor ekonomi yang identik dengan masalah kemiskinan.
Masyarakat pedesaan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui hasil
penjualan kegiatan pertanian yang umumnya rendah, berusaha mencari bentuk usaha
lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk
mendapatkan modal dalam memulai usahanya, petani pada umumnya menjual tanah
yang dimilikinya. Masyarakat pedesaan beranggapan akan mendapatkan keuntungan
yang lebih tinggi dari penjualan lahan pertanian untuk kegiatan industri
dibandingkan harga jual untuk kepentingan persawahan. Di sisi lain pengerjaan
lahan pertanian memerlukan biaya tinggi sedangkan hasil yang didapat hanya
sedikit. Sehingga petani lebih memilih sebagian tanah pertaniannya untuk dijual
untuk kegiatan non-pertanian.
3.
Faktor luar, yaitu pengaruh warga dari desa-kelurahan
perbatasan yang telah lebih dahulu menjual tanah mereka kepada pihak Perseroan
Terbatas (PT).
4.
Adanya
perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan
karena mekanisme pasar. Konversi lahan terjadi karena kurangnya pengertian
masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai tata ruang wilayah, atau rencana
tata ruang wilayah yang sulit diwujudkan. Selain itu juga terdapat kebijakan
pembangunan yang menekankan pada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas
investasi, maka perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke nonpertanian
terjadi secara meluas. Tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung
terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian ialah:
a.
Kebijakan
privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan Presiden Nomor 53
tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk
melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya
sesuai dengan mekanisme pasar.
b.
Kebijakan
pembangunan permukiman skala besar dan kota baru. Akibat dari penerapan
kebijakan ini ialah munculnya spekulan yang mendorong minat para petani menjual
lahannya.
c.
Kebijakan
deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket kebijakan
Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam
memproses perizinan lokasi. Akibat kebijakan ini ialah terjadi peningkatan
sangat nyata dalam hal permohonan izin lokasi baik untuk kawasan industri,
permukiman skala besar, maupun kawasan pariwisata.
Konversi
lahan telah menyebabkan perubahan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Perubahan yang dimaksud berhubungan dengan perubahan struktur agraria, proses
marginalisasi atau kemiskinan dan pelaku konversi (warga masyarakat)
‘tersubordinasi’ oleh pihak pemanfaat konversi. Secara khusus implikasi dari
perubahan struktur agraria adalah perubahan pola penguasaan agraria, pola
nafkah, pola hubungan produksi dan perubahan orientasi nilai terhadap sumberdaya
agraria. Perubahan tersebut tidak lepas dari faktor konversi sebagaimana
dijelaskan di atas. Dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa keterkaitan
antara faktor konversi dan dampak yang diakibatkannya menunjukkan ‘ruang
permasalahan agraria’. Dari ruang permasalahan agraria tersebut dapat diketahui
bahwa konversi lahan telah meningkatkan keidak-adilan agraria (Sihaloho, et al.
2007).
Perubahan pada luas
lahan usahatani sebagai akibat konversi lahan pertanian membuat perubahan pada
kondisi sosial ekonomi petani. Konversi lahan pertanian umumnya membuat
kesejahteraan petani menurun karena tidak adanya peningkatan akses pekerjaan
non-petanian yang dapat menambah penghasilan petani. Konversi lahan pertanian
juga menimbulkan berbagai masalah yaitu dapat menyebabkan adanya pergeseran
struktur ketenagakerjaan dan penguasaan kepemilikan lahan pertanian serta
adanya transformasi struktur ekonomi dari pertanian ke industri. Selain itu
pendapatan petani akan semakin sedikit dan akan mengalami kesulitan untuk
membiayai kebutuhan sehari-harinya. Alih fungsi berdampak pada produktivitas
tanaman pangan khususnya untuk tahun-tahun berikutnya, sebab dengan beralih
fungsinya tanah pertanian menyebabkan meningkatnya peluang produksi tanaman
pangan yang hilang sehingga akan menyebabkan permasalahan pangan semakin besar
dari tahun ke tahun atau bersifat progresif.
Penyebab terjadinya
alih fungsi lahan pertanian bersifat multidimensi. Upaya pengendaliannya tidak
mungkin hanya dilakukan melalui satu pendekatan saja. Mengingat nilai
keberadaan lahan pertanian bersifat multi fungsi, maka keputusan untuk melakukan
pengendalian, harus memperhitungkan berbagai aspek yang melekat pada eksistensi
lahan itu sendiri. Hal tersebut mengingat lahan yang ada mempunyai nilai yang
berbeda, baik ditinjau dari segi jasa (service) yang dihasilkan maupun beragam
fungsi yang melekat di dalamnya.
Pearce and Turner dalam
Iqbal (2007), merekomendasikan tiga pendekatan secara bersamaan dalam kasus pengendalian alih fungsi lahan sawah yaitu melalui: (1) regulation,
(2) acquisition and management; dan
(3) incentive and charge. Uraian
singkat dari ketiga pendekatan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Regulation,
melalui pendekatan ini pengambil kebijakan perlu menetapkan sejumlah aturan
dalam pemanfaatan lahan yang ada. Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis,
ekonomis, dan sosial, pengambil kebijakan
bisa melakukan pewilayahan (zoning) terhadap lahan yang ada serta
kemungkinan bagi proses alih fungsi. Selain itu, perlu mekanisme perizinan yang
jelas dan transparan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada
dalam proses alih fungsi lahan. Pada tatanan praktisnya, pola ini telah
diterapkan pemerintah melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan
pembentukan Tim Sembilan di tingkat kabupaten dalam proses alih fungsi lahan,
tetapi pelaksanaan di lapang belum sepenuhnya konsisten menerapkan aturan yang
ada.
2. Acquisition and Management
adalah melalui pendekatan ini pihak terkait perlu menyempurnakan sistem dan
aturan jual beli lahan serta penyempurnaan pola penguasaan lahan (land tenure system) yang ada guna mendukung
upaya ke arah mempertahankan keberadaan lahan pertanian.
3. Incentive and Charges,
yaitu melalui pemberian subsidi kepada para petani yang dapat meningkatkan
kualitas lahan yang mereka miliki, serta penerapan pajak yang menarik bagi yang
mempertahankan keberadaan lahan pertanian, merupakan bentuk pendekatan lain
yang disarankan dalam upaya pencegahan alih fungsi lahan pertanian. Selain itu,
pengembangan prasarana yang ada lebih diarahkan untuk mendukung pengembangan
kegiatan budidaya pertanian berikut usaha ikutannya.
Penerapan
perundang-undangan dan peraturan pengendalian alih fungsi lahan saat ini kurang
berjalan efektif , maka perlu diwujudkan
suatu kebijakan alternatif. Kebijakan alternatif tersebut diharapkan mampu
memecahkan kebuntuan pengendalian alih fungsi lahan sebelumnya. Adapun
komponennya antara lain instrumen hukum dan ekonomi, zonasi, dan inisiatif
masyarakat. Instrumen hukum meliputi penerapan perundang-undangan dan peraturan
yang mengatur mekanisme alih fungsi lahan. Sementara itu, instrumen ekonomi mencakup
insentif, disinsentif, dan kompensasi. Kebijakan pemberian insentif diberikan
kepada pihak -pihak yang mempertahankan lahan dari alih fungsi.
PENUTUP
Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi
pembangunan khususnya
pada
bidang pertanian.
Alih fungsi lahan disebabkan oleh faktor pertambahan jumlah penduduk, faktor
ekonomi, adanya pengaruh dari pihak lain, serta adanya kebijakan-kebijakan
terkait tata ruang wilayah. Alih fungsi lahan akan berdampak pada produktifitas
hasil pertanian yang berlanjut pada kuantitas ketersediaan pangan, stabilitas
ketersediaan pangan, dan aksesibilitas rumah tangga terhadap bahan pangan.
Terdapat tiga pendekatan secara bersamaan dalam kasus pengendalian alih fungsi lahan yaitu melalui regulation, acquisition and management; dan incentive
and charge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar